Kamis, 11 April 2013

APLIKASI SIG DALAM BIDANG PERAIRAN


BAB I
PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang Perlunya pemanfaatan Wilayah Pesisir
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dimana wilayahnya terdiri dari sekitar 18.000 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km yang membentang luas dari Sabang (Sumatera) sampai Merauke (Irian Jaya). Luas wilayah perairan Indonesia meliputi sekitar 62% dari luas teritorial, serta memiliki potensi dan keanekaragaman jenis hayati maupun plasma nuftah yang sangat besar, sehingga merupakan wilayah yang sangat produktif. Produktivitas primer di wilayah pesisir (biasa disebut coastal zone yang meliputi wilayah darat dan wilayah perairan di dekat pantai), seperti estuari, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, dapat mencapai lebih dari 10.000 grC/m2/th, sedangkan produktivitas primer rata-rata wilayah pesisir dapat mencapai lebih dari 500 grC/m2/th (Supriharyono. 2000).
Nilai produktivitas primer di wilayah pesisir ini sangat tinggi dibandingkan dengan produktivitas primer di wilayah perairan laut lepas (offshore). Dengan alasan tersebut, sudah sepantasnya Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan yang strategis terhadap pemanfaatan wilayah pesisir tersebut. Dahuri et al. (2000) menyatakan 4 alasan pokok Pemerintah Indonesia menjadikan pembangunan sumber daya laut sebagai kebijakan strategis, yaitu :
1) Fakta fisik bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 18.108 pulau (Kompas, 17 Februari 2003) dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 atau 62% dari luas teritorialnya.
2) Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk serta semakin menipisnya sumberdaya alam di daratan.
3) Pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global dari poros Eropa-Atlantik menjadi poros Asia Pasifik yang diikuti perdagangan bebas dunia pada tahun 2020 menjadikan kekayaan laut Indonesia menjadi aset nasional.
4) Dalam menuju era industrialisasi, wilayah pesisir dan lautan termasuk prioritas utama untuk pusat pengembangan kegiatan industri, pariwisata, agrobisnis, agroinduistri, permukiman, transportasi dan pelabuhan.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai institusi pusat yang berwenang dalam hal pengelolaan wilayah pesisir dan lautan pada tahun 2003 telah mencanangkan program Gerakan Nasional Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari dengan target produksi perikanan tahun 2006 sebesar 9,5 juta ton, kontribusi terhadap PDB sebesar 10 %, pencapaian devisa dari ekspor sebesar US$ 10 Milyar, penyerapan tenaga kerja 7,4 juta orang dan tingkat konsumsi ikan 30 kg/kapita/tahun.  Sumber daya wilayah pesisir lainnya adalah bidang Pariwisata bahari. Pada tahun 2002 pemerintah telah mencanangkan program ekowisata dan tahun 2003 ditetapkan sebagai tahun wisata bahari. Direktorat Diversifikasi Produk Pariwisata Bahari-Sub Direktorat Pengembangan Pariwisata (2002) menyatakan bahwa realisasi tahun wisata bahari adalah berupa pengembangan objek-obkek wisata bahari baru dalam bentuk pengembangan wisata dengan ketertarikan khusus seperti menyelam (diving), snorkling dan surfing. Dengan modal keindahan alam dan keragaman flora/fauna yang sangat khas dan tak dimiliki oleh negara lain. Maka pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pariwisata menargetkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada tahun 2003 adalah sebesar 6,3 juta orang, dan dari sektor ini diharapkan dapat meraup devisa sebesar 6,3 milyar dollar AS (Kompas, 2002).

1.2. Potensi wilayah Pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo
Banyuwangi, sebuah kabupaten paling ujung timur propinsi Jawa Timur dengan posisi geografis 7o40’ – 8o46’ LS dan 113o 53’ – 114o38’ BT, memiliki luas wilayah 5.782,50 km2 dengan panjang garis pantai 291,5 km dan menyimpan potensi sumber daya pesisir yang cukup besar dan beragam sehingga pihak pemerintah pusat melalui Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) tahun 2001 memberikan arahan prioritas pengembangan kawasan laut dan pesisir Banyuwangi dan sekitarnya menjadi 3 (tiga) sektor unggulan, yaitu perikanan, pertambangan dan pariwisata dengan kota Banyuwangi sebagai main project nya.
Bagi Kabupaten Banyuwangi, Otonomi Daerah (Otoda) adalah kata yang diterjemahkan menjadi pembentukan sikap mandiri yang mengacu kepada dua hal, yaitu pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Seiring kewenangan daerah mengelola keuangan sendiri, Banyuwangi juga tak ketinggalan memacu pendapatan asli daerah (PAD). Kenaikan PAD yang cukup besar yang “hanya” dari Rp.9,9 milyar pada tahun 2000 menjadi Rp.35 Milyar pada tahun 2003 di capai melalui pembangunan kawasan berbasis maritim melalui kegiatan proyek pembuatan terumbu karang, pengembangan pantai, dan pengelolaan perikanan dengan melibatkan masyarakat pesisir pantai Kabupaten Banyuwangi.
1.2.2. Kabupaten Situbondo
Kabupaten Situbondo yang daerah fisiknya memanjang dari barat ke timur sepanjang pantai Selat Madura dengan panjang ±150 km, dan kedalaman wilayahnya dari pantai rata-rata 11 m, secara geografis sangat potensial untuk usaha budidaya perikanan pantai. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberikan peluang kepada Kabupaten Situbondo untuk mengelola sumberdaya kelautan sepanjang 4 mil. Pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Situbondo menjadi lokasi budidaya perikanan diharapkan akan memberikan kontribusi yang nyata bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Situbondo (Pemerintah Kabupaten Situbondo, 2001).
Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan di daerah Kabupaten Situbondo menempati urutan prioritas program kedua setelah Program Pengembangan Agribisnis dan Ketahanan Pangan. Program Kelautan dan Perikanan tersebut bertujuan memberdayakan masyarakat wilayah pesisir pantai dengan meningkatkan produksi kelautan dan perikanan di seluruh wilayah pantai Kabupaten Situbondo. Dalam hal itu, Kabupaten Situbondo menargetkan peningkatan produksi perikanan mencapai sebesar 17.353 ton dengan perkiraaan nilai produksi perikanan laut sebesar 62.685.000 rupiah pada tahun 2005 (Pemerintah Kabupaten Situbondo, 2001).

1.3. Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh berbasis satelit untuk Indentifikasi Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Teknologi Penginderaan Jauh (Remote sensing) sering diartikan sebagai teknologi untuk mengidentifikasi suatu objek di permukaan bumi tanpa melalui kontak langsung dengan objek tersebut. Saat ini teknologi penginderaan jauh berbasis satelit menjadi sangat populer dan digunakan untuk berbagai tujuan kegiatan, salah satunya untuk mengidentifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Hal ini disebabkan teknologi ini memiliki beberapa kelebihan, seperti: harganya yang relatif murah dan mudah didapat, adanya resolusi temporal (perulangan) sehingga dapat digunakan untuk keperluan monitoring, cakupannya yang luas dan mampu menjangkau daerah yang terpencil, bentuk datanya digital sehingga dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan ditampilkan sesuai keinginan. Pemanfaatan data penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah banyak dilakukan dalam kaitannya dengan kebutuhan pengembangan wilayah pesisir dan lautan. Penelitian dilakukan mulai dari pengembangan model parameter fisik perairan (suhu permukaan laut, Klorofil, Muatan Padat Tersuspensi, Kecerahan perairan dll) wilayah pesisir sampai dengan kegiatan yang bersifat aplikasi seperti monitoring dan penentuan zona potensi pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
Beberapa contoh hasil penelitian yang berkaitan dengan pengembangan model untuk penentuan distribusi parameter fisik perairan adalah sebagai berikut: Pembangunan model algoritma Suhu Permukaan Laut dan Klorofil (indikasi kesuburan perairan) untuk berbagai wilayah perairan menggunakan data satelit resolusi moderat dan resolusi tinggi, seperti: satelit NOAA, SeaWiFS, IRS, Modis. J.W. Chipman et. al. (2004) membangun algoritma kecerahan perairan dengan model Seichi Disk Transparency (DSP) menggunakan data satelit Landsat multi temporal untuk sebagian besar danau wilayah Amerika Serikat. Budhiman (2004) menggunakan beberapa data satelit meliputi Landsat TM dan ETM, Aster dan SeaWiFS untuk memperoleh model algoritma dalam penentuan Muatan Padat Tersuspensi di perairan Delta Mahakam,
Penelitian yang berkaitan dengan kegiatan monitoring dan pengembangan wilayah pesisir adalah sebagai berikut: Ratnasermpong (1996) mengkaji peranan penginderaan jauh untuk pemantauan hutan mangrove dan tambak udang di Thailand; Ramesh dan Rajkumar (1996) mengkaji penggunaan data penginderaan jauh dan SIG untuk perencanaan penentuan lokasi budidaya perikanan pantai di Tamil Nadu, India; Winarso et al. (1999) melakukan analisis geomorfologi untuk studi kesesuaian lahan tambak udang di Ketapang, Sulawesi Selatan; Niendyawati (1999) memanfaatkan data penginderaaan. jauh dan SIG untuk penentuan lokasi tambak udang di pantai timur Lampung; Riqqi dan Nganro (2002) memanfaatkan SIG untuk menentukan prototipe pemanfaatan dan pengelolaan kawasan Tambak di Serang (Banten), LAPAN (2002) memanfaatkan data penginderaan Jauh dan SIG untuk inventarisasi potensi pariwisata bahari di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Gorontalo, Bambang et. al.(2003) memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG untuk analisa kesesuaian kegiatan budidaya laut dan pariwisata bahari untuk propinsi Nusa Tenggara Barat.
Pada kegiatan ini, data satelit beresolusi tinggi dan moderat (Landsat, NOAA dan Fengyun) dan data sekunder dimanfaatkan untuk mengamati parameter fisik perairan (Bathimetri, SPL, MPT, Kecerahan), parameter fisik daratan (Landuse, DEM, sungai, slope dan bentuk pantai), sumberdaya alam (terumbu karang, pasir, mangrove, lamun) dan parameter sosek (sarana/prasarana) di wilayah pesisir. Kemudian dengan menggunakan model pembobotan dan analisa spasial, akan dicoba untuk menilai potensi wilayah pesisir sebagai informasi awal berbasis teknologi penginderaan jauh bagi pengembangan budidaya ikan karang menggunakan keramba jaring apung dan pariwisata bahari di wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo. Untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan memaksimalkan penggunaan teknologi penginderaan jauh, dilakukan koreksi (geometrik, radiometrik dan atmosferik), perbaikan metoda dan penggunaan algoritma yang berbasiskan nilai reflektansi.

1.4. Tujuan, Sasaran, Ruang lingkup dan Output dari Kegiatan

Tujuan dari kegiatan ini adalah mengidentifikasikan kawasan berpotensi untuk pengembangan wilayah pesisir, khususnya kegiatan budidaya laut dan pariwisata bahari di Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo dengan menggunakan informasi penginderaan inderaja dan SIG. Sasarannya adalah tersedianya informasi kondisi fisik perairan wilayah pesisir, informasi sumberdaya alam dan informasi spasial zona potensi budidaya laut dan pariwisata bahari wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo, yang diharapkan dapat bahan pertimbangan (early information) bagi pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo dalam pengembangan budidaya laut dan pariwisata bahari.  Ruang lingkup dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:
·         Melakukan identifikasi parameter fisik perairan di wilayah pesisir Banyuwangi dan Situbondo,
·         Melakukan identifikasi potensi sumberdaya alam di wilayah pesisir Banyuwangi dan Situbondo,
·         Melakukan analisis pengembangan budidaya laut di wilayah pesisir Banyuwangi.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Penataan ruang yang baik dalam pemanfaatan wilayah pesisir adalah mutlak diperlukan. Salah satu cara untuk mendapatkan tata ruang yang baik adalah dengan melakukan evaluasi lahan dan klasifikasi kesesuaian lahan yang dalam kegiatan ini berhubungan dengan pengembangan budidaya perikanan dan pariwisata di wilayah pesisir. Salah satu komponen dasar dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata adalah inventarisasi sumberdaya alam di wilayah pesisir. Kegiatan tersebut adalah vital bagi pengelola untuk mengetahui kualitas dan keberadaan dari sumberdaya pesisir, terutama sumberdaya yang penting bagi industri perikanan pantai dan pariwisata sekaligus sebagai pengatur lingkungan (Martin, 1993). Oleh karena itu perlu dipahami pengetahuan mengenai karakteristik wilayah pesisir dan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya.

2.1. Wilayah Pesisir dan Potensinya
Menurut Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2001), ada 3 batasan pendekatan untuk mendefinisikan wilayah pesisir yaitu:
1. Pendekatan ekologis: wilayah pesisir merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, seperti pasang surut dan intrusi air laut; dan kawasan laut yang masih diengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi dan pencemaran.
2. Pendekatan administrasi: wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten atau kota yang mempunyai laut dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk propinsi atau sepertiganya untuk kabupaten atau kota.
3. Pendekatan perencanaan: wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan sumber daya yang difokuskan pada penanganan isu yang akan dikelola secara bertanggung jawab.

Gambar 2-1, meperlihatkan batas-batas fisik wilayah pesisir (Brahtz, 1972; dalam Supriharyono, 2000). Dimana wilayah pesisir (Coastal area) terdiri dari wilayah yang meliputi lahan pesisir (Coast), pantai (Shore) dan perairan dangkal (Nearshore). Keunikan wilayah pesisir serta beragamnya sumberdaya yang ada, mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut secara terpadu bukan secara sektoral. Menurut Dahuri (2000) lima alasan mengapa wilayah pesisir perlu dikelola secara terpadu:
1) Secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem, cepat
        atau lambat akan mempengaruhi ekosistem yang lainnya.
2) Dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan,
3) Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki ketrampilan/keahlian dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda. Padahal sangat sukar untuk mengubah profesi seseorang yang sudah mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan,
4) Baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan intemal maupun ekstemal yang menjurus kepada kegagalan usaha,
5) Kawasan pesisir pada umumnya adalah merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatakn oleh semua orang (open acces). Padahal setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan.

 
Gambar 5-1 Batas administrasi Kabupaten Banyuwangi

Kabupaten Banyuwangi memiliki akses jalan yang cukup baik, ini terlihat dari Gambar 5-3. Akses jalan terutama di sekitar wilayah pesisir yang memiliki kelerengannya cenderung rendah (datar), sementara di bagian atas (daerah dataran tinggi) dan Kecamatan Tegaldlimo akses jalan masih kurang disebabkan tutupan lahanya sebagian besar adalah hutan. Jumlah sungai cukup banyak yang mengalir dari bagian tengah yang lebih tinggi dan bermuara ke Selat Bali dan Samudra Indonesia yang lebih rendah.

 
      Gambar 5-2 Tutupan Lahan Kabupaten Banyuwangi (Hasil olahan ISDAL)


                            Jalan                                                                        Sungai
Gambar 5-3 Vektor Jalan dan Sungai di Kabupaten Banyuwangi

5.2 Parameter Fisik Perairan
Gambar 5-4 memperlihatkan hasil kedalaman yang merupakan gabungan antara titik kedalaman yang diturunkan dari data citra untuk daerah perairan terumbu karang dan  titik kedalaman hasil dari digitasi peta bathimetri. Gambar 5-5 memperlihatkan perbandingan antara hasil interpolasi kedalaman dari data bathimetri dan dari gabungan antara bathimetri dan landsat. Perbedaan tidak terlalu terlihat ini tetapi bila dilihat secara mendetil, terlihat bahwa kontur gabungan mempunyai kontur yang lebih rapat di perairan dekat pantai. Selain itu penambahan informasi kedalaman sangat berguna untuk menambahkan informasi peta bathimetri yang sering  tidak lengkap.

       
Gambar 5-4 Kedalaman gabungan antara Peta bathimetri dan data citra

                    Bathimetri                                                                       Gabungan
Gambar 5-5 Perbandingan antara Interpolasi bathimetri dan interpolasi gabungan

Gambar 5.6 memperlihatkan sebaran SPL untuk musim barat dan musim timur di perairan Kabupaten Banyuwangi yang diturunkan dari model algoritma menggunakan suhu efektif berbasiskan nilai radiansi. Di bagian utara (laut Jawa) suhu cenderung tinggi dibandingkan pada bagian selatan (samudera Indonesia). Ini disebabkan samudera Indonesia lebih dinamis sehingga mudah terjadi pencampuran massa air yang mengakibatkan rendahnya nilai SPL. Pada musim timur nilai SPL di bagian selatan mempunyai suhu sangat rendah yang terlihat dengan warna biru, ini disebabkan terjadinya upwelling (di daerah ini upwelling terjadi sepanjang musim timur).

            
                         Musim Barat                                                              Musim Timur

26.50C36.4oC

Gambar 5-6 Memperlihatkan distribusi SPL di perairan Banyuwangi menggunakan model algoritma berbasiskan radiansi. 

 
Gambar 5-7 Memperlihatkan Spl Musim Barat dengan basis Digital Number

 
Gambar 5-8 Memperlihatkan SPL Musim Timur Menggunakan Model Berbasis Digital Number
Gambar 5-7 dan 5-8 memperlihatkan distribusi SPL berdasarkan model berbasis digital number. Secara umum terlihat bahwa kedua model mempunyai kecenderungan yang sama, yaitu terlihat bahwa bagian utara bersuhu lebih tinggi daripada bagian selatan, dan musim timur bersuhu lebih rendah dibandingkan musim barat. Walaupun kedua model ini memiliki range nilai SPL yang tidak terlalu berbeda, tetapi terlihat bahwa SPL dengan model berbasiskan radiansi mempunyai pola yang lebih bervariasi dan halus.
Gambar 5-9 memperlihatkan distribusi kecerahan menggunakan model algoritma SDT (Seichi Disk Transparency) berbasis nilai radiansi, terlihat perbedaan yang cukup besar antara musim barat dan musim timur. Pada musim barat kecerahan sangat tinggi mencapai lebih dari 25 meter, sedangkan pada musim timur berkisar kurang dari 12 meter. Gambar 5-10 dan 5-11 memperlihatkan distribusi kecerahan pada musim barat dan musim timur menggunakan model algoritma berbasis digital number. Range nilai kecerahan yang diperoleh menggunakan model ini lebih mendekati kondisi real yaitu berkisar antara 7 sampai 12 meter. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kecerahan perairan pada daerah terumbu karang yang diperkirakan tinggi, ternyata mempunyai tingkat kecerahan yang paling rendah. Kedua model ini masih memerlukan kajian lebih lanjut dengan membandingkan dengan data insitu atau perbaikan koreksi atmosferik. Pola kecerahan juga direncanakan akan dimonitor mengunakan data Fengyun 1C, sehingga dapat terlihat pola untuk jangka waktu tertentu seperti bulanan atau tahunan.

              
                            Musim Barat                                               Musim Timur 


1 meter50 meter

Gambar 5-9 Memperlihatkan distribusi Kecerahan di perairan Banyuwangi menggunakan model algoritma berbasiskan reflektansi

 
  
Gambar 5-11 Memperlihatkan Kecerahan Pada Musim Timur Menggunakan Model Berbasis Digital Number

               
Musim Barat                                                   Musim Timur

0 mg/l120 mg/l


   

Gambar 5-14 Memperlihatkan Kecerahan Pada Musim Timur Menggunakan Model Berbasis Digital Number

Gambar 5-15 memperlihatkan pemetaan terumbu karang, pdang lamun dan pasir dibawah permukaan laut menggunakan model Lyzengga berbasis nilai reflektansi. Disebabkan identifikasi terumbu karang sangat peka akan adanya kekeruhan (kekeruhan menghilangkan informasi adanya terumbu karang), sehingga dilakukan pengolahan terhadap 2 data temporal Landsat 7 ETM untuk memetakan terumbu karang

Gambar 5-15 Pemetaan Terumbu Karang Di Perairan Banyuwangi




BAB III
PENUTUP
  

Kajian potensi ekonomi wilayah pesisir, khususnya pengembangan budidaya laut dan pariwisata bahari, telah berjalan selama 1 semester. Cukup banyak hambatan yang dihadapi sekaligus telah dilakukan beberapa usaha untuk menyelesaikan masalah tersebut. Misalnya sedikitnya model algoritma untuk mendeteksi parameter perairan yang sudah dikerjakan untuk wilayah Indonesia, kalaupun ada umumnya menggunakan model berbasis digital number dan pengambilan data yang lokal sehinga besar kemungkinan hanya berlaku untuk satu lokasi dan satu saat saja. Beberapa algoritma sudah dikembangkan dengan berbasiskan nilai radiansi atau reflektansi, tetapi masih belum diterapkan secara baik di daerah penelitian (Banyuwangi dan Situbondo), kemungkinan disebabkan beberapa hal seperti perbedaan jenis kandungan material (organik atau anorganik) yang terlarut di perairan, koreksi atmosferik yang belum dilakukan dengan benar dll. Perbaikan model kedalaman dan SPL menggunakan Landsat telah dilakukan, hasilnya memperlihatkan persamaan yang cukup baik dengan referensi yang digunakan (seperti: peta bathimetri atau NOAA).
Walaupun begitu permasalahan keakurasian masih menjadi masalah disebabkan tidak adanya data lapangan untuk memverifikasi hasil tersebut. Kegiatan Bina Usaha yang merupakan kegiatan hilir dan bersifat operasional memang sangat menarik karena berusaha mengaplikasikan data penginderaan jauh untuk dimanfaatkan bagi masyarakat luas, tetapi tidak adanya model yang siap dipakai merupakan hambatan yang terbesar. Untuk itu sangat diperlukan adanya bidang penelitian khusus untuk melakukan pembuatan model sehingga hasil yang dikeluarkan Bina Usaha dapat lebih dipercaya.
Kegiatan ini sudah terselesaikan kira-kira 46 %, dimana kegiatan utama pada semester 1 ini adalah perbaikan metoda dan menurunkan parameter-parameter fisik perairan, fisik daratan, monitoring dan pembuatan DEM dengan menggunakan data-data penginderaan jauh. Rencana selanjutnya adalah menyelesaikan beberapa parameter yang belum dikerjakan, melakukan pembobotan dan analisa. Selain itu akan dicoba untuk menggunakan data satelit beresolusi temporal tinggi seperti Fengyun 1C untuk monitoring kekeruhan, dan menggunakan data resolusi spasial tinggi seperti SPOT untuk membantu mengamati lokasi secara visual sekaligus sebagai alat verifikasi dari hasil pembobotan dan analisa. 


















 
























1 komentar: