BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perlunya pemanfaatan Wilayah Pesisir
Indonesia
merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dimana wilayahnya
terdiri dari sekitar 18.000 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km yang
membentang luas dari Sabang (Sumatera) sampai Merauke (Irian Jaya). Luas
wilayah perairan Indonesia meliputi sekitar 62% dari luas teritorial, serta
memiliki potensi dan keanekaragaman jenis hayati maupun plasma nuftah yang
sangat besar, sehingga merupakan wilayah yang sangat produktif. Produktivitas
primer di wilayah pesisir (biasa disebut coastal zone yang meliputi wilayah
darat dan wilayah perairan di dekat pantai), seperti estuari, mangrove, padang
lamun, dan terumbu karang, dapat mencapai lebih dari 10.000 grC/m2/th,
sedangkan produktivitas primer rata-rata wilayah pesisir dapat mencapai lebih
dari 500 grC/m2/th (Supriharyono. 2000).
Nilai
produktivitas primer di wilayah pesisir ini sangat tinggi dibandingkan dengan
produktivitas primer di wilayah perairan laut lepas (offshore). Dengan alasan
tersebut, sudah sepantasnya Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan yang
strategis terhadap pemanfaatan wilayah pesisir tersebut. Dahuri et al. (2000)
menyatakan 4 alasan pokok Pemerintah Indonesia menjadikan pembangunan sumber
daya laut sebagai kebijakan strategis, yaitu :
1) Fakta fisik bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar
di dunia yang terdiri dari 18.108 pulau (Kompas, 17 Februari 2003) dengan garis
pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 atau
62% dari luas teritorialnya.
2) Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk
serta semakin menipisnya sumberdaya alam di daratan.
3) Pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global dari poros
Eropa-Atlantik menjadi poros Asia Pasifik yang diikuti perdagangan bebas dunia
pada tahun 2020 menjadikan kekayaan laut Indonesia menjadi aset nasional.
4) Dalam menuju era industrialisasi, wilayah pesisir dan lautan
termasuk prioritas utama untuk pusat pengembangan kegiatan industri,
pariwisata, agrobisnis, agroinduistri, permukiman, transportasi dan pelabuhan.
Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai institusi pusat yang berwenang dalam hal
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan pada tahun 2003 telah mencanangkan
program Gerakan Nasional Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari dengan target
produksi perikanan tahun 2006 sebesar 9,5 juta ton, kontribusi terhadap PDB
sebesar 10 %, pencapaian devisa dari ekspor sebesar US$ 10 Milyar, penyerapan
tenaga kerja 7,4 juta orang dan tingkat konsumsi ikan 30 kg/kapita/tahun. Sumber daya wilayah pesisir lainnya adalah
bidang Pariwisata bahari. Pada tahun 2002 pemerintah telah mencanangkan program
ekowisata dan tahun 2003 ditetapkan sebagai tahun wisata bahari. Direktorat
Diversifikasi Produk Pariwisata Bahari-Sub Direktorat Pengembangan Pariwisata (2002)
menyatakan bahwa realisasi tahun wisata bahari adalah berupa pengembangan
objek-obkek wisata bahari baru dalam bentuk pengembangan wisata dengan
ketertarikan khusus seperti menyelam (diving), snorkling dan surfing. Dengan
modal keindahan alam dan keragaman flora/fauna yang sangat khas dan tak
dimiliki oleh negara lain. Maka pemerintah Indonesia melalui Direktorat
Jenderal Pariwisata menargetkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) ke
Indonesia pada tahun 2003 adalah sebesar 6,3 juta orang, dan dari sektor ini
diharapkan dapat meraup devisa sebesar 6,3 milyar dollar AS (Kompas, 2002).
1.2. Potensi wilayah Pesisir
Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo
Banyuwangi, sebuah kabupaten paling ujung timur propinsi Jawa
Timur dengan posisi geografis 7o40’ – 8o46’ LS dan 113o 53’ –
114o38’
BT, memiliki luas wilayah 5.782,50 km2 dengan panjang garis pantai
291,5 km dan menyimpan potensi sumber daya pesisir yang cukup besar dan beragam
sehingga pihak pemerintah pusat melalui Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional
(BKTRN) tahun 2001 memberikan arahan prioritas pengembangan kawasan laut dan
pesisir Banyuwangi dan sekitarnya menjadi 3 (tiga) sektor unggulan, yaitu
perikanan, pertambangan dan pariwisata dengan kota Banyuwangi sebagai main
project nya.
Bagi
Kabupaten Banyuwangi, Otonomi Daerah (Otoda) adalah kata yang diterjemahkan
menjadi pembentukan sikap mandiri yang mengacu kepada dua hal, yaitu
pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Seiring
kewenangan daerah mengelola keuangan sendiri, Banyuwangi juga tak ketinggalan
memacu pendapatan asli daerah (PAD). Kenaikan PAD yang cukup besar yang “hanya”
dari Rp.9,9 milyar pada tahun 2000 menjadi Rp.35 Milyar pada tahun 2003 di
capai melalui pembangunan kawasan berbasis maritim melalui kegiatan proyek
pembuatan terumbu karang, pengembangan pantai, dan pengelolaan perikanan dengan
melibatkan masyarakat pesisir pantai Kabupaten Banyuwangi.
1.2.2. Kabupaten Situbondo
Kabupaten
Situbondo yang daerah fisiknya memanjang dari barat ke timur sepanjang pantai
Selat Madura dengan panjang ±150 km, dan kedalaman wilayahnya dari pantai
rata-rata 11 m, secara geografis sangat potensial untuk usaha budidaya
perikanan pantai. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
telah memberikan peluang kepada Kabupaten Situbondo untuk mengelola sumberdaya
kelautan sepanjang 4 mil. Pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Situbondo
menjadi lokasi budidaya perikanan diharapkan akan memberikan kontribusi yang
nyata bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Situbondo (Pemerintah
Kabupaten Situbondo, 2001).
Program
Pembangunan Kelautan dan Perikanan di daerah Kabupaten Situbondo menempati
urutan prioritas program kedua setelah Program Pengembangan Agribisnis dan
Ketahanan Pangan. Program Kelautan dan Perikanan tersebut bertujuan
memberdayakan masyarakat wilayah pesisir pantai dengan meningkatkan produksi
kelautan dan perikanan di seluruh wilayah pantai Kabupaten Situbondo. Dalam hal
itu, Kabupaten Situbondo menargetkan peningkatan produksi perikanan mencapai
sebesar 17.353 ton dengan perkiraaan nilai produksi perikanan laut sebesar
62.685.000 rupiah pada tahun 2005 (Pemerintah Kabupaten Situbondo, 2001).
1.3. Pemanfaatan Teknologi
Penginderaan Jauh berbasis satelit untuk Indentifikasi Potensi Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan
Teknologi
Penginderaan Jauh (Remote sensing) sering diartikan sebagai teknologi untuk
mengidentifikasi suatu objek di permukaan bumi tanpa melalui kontak langsung dengan
objek tersebut. Saat ini teknologi penginderaan jauh berbasis satelit menjadi
sangat populer dan digunakan untuk berbagai tujuan kegiatan, salah satunya
untuk mengidentifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Hal ini
disebabkan teknologi ini memiliki beberapa kelebihan, seperti: harganya yang
relatif murah dan mudah didapat, adanya resolusi temporal (perulangan) sehingga
dapat digunakan untuk keperluan monitoring, cakupannya yang luas dan mampu
menjangkau daerah yang terpencil, bentuk datanya digital sehingga dapat
digunakan untuk berbagai keperluan dan ditampilkan sesuai keinginan. Pemanfaatan
data penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah banyak
dilakukan dalam kaitannya dengan kebutuhan pengembangan wilayah pesisir dan
lautan. Penelitian dilakukan mulai dari pengembangan model parameter fisik
perairan (suhu permukaan laut, Klorofil, Muatan Padat Tersuspensi, Kecerahan
perairan dll) wilayah pesisir sampai dengan kegiatan yang bersifat aplikasi
seperti monitoring dan penentuan zona potensi pengembangan dan pemanfaatan
wilayah pesisir.
Beberapa
contoh hasil penelitian yang berkaitan dengan pengembangan model untuk
penentuan distribusi parameter fisik perairan adalah sebagai berikut:
Pembangunan model algoritma Suhu Permukaan Laut dan Klorofil (indikasi
kesuburan perairan) untuk berbagai wilayah perairan menggunakan data satelit
resolusi moderat dan resolusi tinggi, seperti: satelit NOAA, SeaWiFS, IRS,
Modis. J.W. Chipman et. al. (2004) membangun algoritma kecerahan perairan
dengan model Seichi Disk Transparency (DSP) menggunakan data satelit Landsat
multi temporal untuk sebagian besar danau wilayah Amerika Serikat. Budhiman
(2004) menggunakan beberapa data satelit meliputi Landsat TM dan ETM, Aster dan
SeaWiFS untuk memperoleh model algoritma dalam penentuan Muatan Padat
Tersuspensi di perairan Delta Mahakam,
Penelitian
yang berkaitan dengan kegiatan monitoring dan pengembangan wilayah pesisir
adalah sebagai berikut: Ratnasermpong (1996) mengkaji peranan penginderaan jauh
untuk pemantauan hutan mangrove dan tambak udang di Thailand; Ramesh dan
Rajkumar (1996) mengkaji penggunaan data penginderaan jauh dan SIG untuk
perencanaan penentuan lokasi budidaya perikanan pantai di Tamil Nadu, India;
Winarso et al. (1999) melakukan analisis geomorfologi untuk studi kesesuaian
lahan tambak udang di Ketapang, Sulawesi Selatan; Niendyawati (1999)
memanfaatkan data penginderaaan. jauh dan SIG untuk penentuan lokasi tambak
udang di pantai timur Lampung; Riqqi dan Nganro (2002) memanfaatkan SIG untuk
menentukan prototipe pemanfaatan dan pengelolaan kawasan Tambak di Serang
(Banten), LAPAN (2002) memanfaatkan data penginderaan Jauh dan SIG untuk
inventarisasi potensi pariwisata bahari di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan
Gorontalo, Bambang et. al.(2003) memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG
untuk analisa kesesuaian kegiatan budidaya laut dan pariwisata bahari untuk
propinsi Nusa Tenggara Barat.
Pada
kegiatan ini, data satelit beresolusi tinggi dan moderat (Landsat, NOAA dan
Fengyun) dan data sekunder dimanfaatkan untuk mengamati parameter fisik
perairan (Bathimetri, SPL, MPT, Kecerahan), parameter fisik daratan (Landuse,
DEM, sungai, slope dan bentuk pantai), sumberdaya alam (terumbu karang, pasir,
mangrove, lamun) dan parameter sosek (sarana/prasarana) di wilayah pesisir.
Kemudian dengan menggunakan model pembobotan dan analisa spasial, akan dicoba
untuk menilai potensi wilayah pesisir sebagai informasi awal berbasis teknologi
penginderaan jauh bagi pengembangan budidaya ikan karang menggunakan keramba
jaring apung dan pariwisata bahari di wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi dan
Situbondo. Untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan memaksimalkan penggunaan
teknologi penginderaan jauh, dilakukan koreksi (geometrik, radiometrik dan
atmosferik), perbaikan metoda dan penggunaan algoritma yang berbasiskan nilai
reflektansi.
1.4. Tujuan, Sasaran, Ruang lingkup dan
Output dari Kegiatan
Tujuan dari
kegiatan ini adalah mengidentifikasikan kawasan berpotensi untuk pengembangan
wilayah pesisir, khususnya kegiatan budidaya laut dan pariwisata bahari di
Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo dengan menggunakan informasi penginderaan
inderaja dan SIG. Sasarannya
adalah tersedianya informasi kondisi fisik perairan wilayah pesisir, informasi
sumberdaya alam dan informasi spasial zona potensi budidaya laut dan pariwisata
bahari wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo, yang diharapkan
dapat bahan pertimbangan (early information) bagi pemerintah Kabupaten
Banyuwangi dan Situbondo dalam pengembangan budidaya laut dan pariwisata
bahari. Ruang lingkup dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:
·
Melakukan identifikasi
parameter fisik perairan di wilayah pesisir Banyuwangi dan Situbondo,
·
Melakukan identifikasi
potensi sumberdaya alam di wilayah pesisir Banyuwangi dan Situbondo,
·
Melakukan analisis
pengembangan budidaya laut di wilayah pesisir Banyuwangi.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Penataan
ruang yang baik dalam pemanfaatan wilayah pesisir adalah mutlak diperlukan.
Salah satu cara untuk mendapatkan tata ruang yang baik adalah dengan melakukan
evaluasi lahan dan klasifikasi kesesuaian lahan yang dalam kegiatan ini berhubungan
dengan pengembangan budidaya perikanan dan pariwisata di wilayah pesisir. Salah
satu komponen dasar dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata adalah
inventarisasi sumberdaya alam di wilayah pesisir. Kegiatan tersebut adalah
vital bagi pengelola untuk mengetahui kualitas dan keberadaan dari sumberdaya
pesisir, terutama sumberdaya yang penting bagi industri perikanan pantai dan
pariwisata sekaligus sebagai pengatur lingkungan (Martin, 1993). Oleh karena
itu perlu dipahami pengetahuan mengenai karakteristik wilayah pesisir dan
sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya.
2.1. Wilayah Pesisir dan
Potensinya
Menurut Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2001), ada 3 batasan
pendekatan untuk mendefinisikan wilayah pesisir yaitu:
1. Pendekatan ekologis:
wilayah pesisir merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses kelautan, seperti pasang surut dan intrusi air laut; dan kawasan
laut yang masih diengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi dan
pencemaran.
2. Pendekatan administrasi:
wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi pemerintahan mempunyai
batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten atau kota yang
mempunyai laut dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk propinsi
atau sepertiganya untuk kabupaten atau kota.
3. Pendekatan perencanaan:
wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan sumber daya yang
difokuskan pada penanganan isu yang akan dikelola secara bertanggung jawab.
Gambar 2-1,
meperlihatkan batas-batas fisik wilayah pesisir (Brahtz, 1972; dalam Supriharyono,
2000). Dimana wilayah pesisir (Coastal area) terdiri dari wilayah yang meliputi
lahan pesisir (Coast), pantai (Shore) dan perairan dangkal (Nearshore). Keunikan
wilayah pesisir serta beragamnya sumberdaya yang ada, mengisyaratkan pentingnya
pengelolaan wilayah tersebut secara terpadu bukan secara sektoral. Menurut
Dahuri (2000) lima alasan mengapa wilayah pesisir perlu dikelola secara
terpadu:
1) Secara empiris, terdapat keterkaitan
ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir
maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian
perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem, cepat
atau
lambat akan mempengaruhi ekosistem yang lainnya.
2) Dalam suatu kawasan pesisir biasanya
terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang
dapat dikembangkan,
3) Dalam suatu kawasan pesisir, pada
umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki
ketrampilan/keahlian dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda. Padahal
sangat sukar untuk mengubah profesi seseorang yang sudah mentradisi menekuni
suatu bidang pekerjaan,
4) Baik secara ekologis maupun ekonomis,
pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat
rentan terhadap perubahan intemal maupun ekstemal yang menjurus kepada
kegagalan usaha,
5) Kawasan pesisir pada umumnya adalah
merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources) yang dapat
dimanfaatakn oleh semua orang (open acces). Padahal setiap pengguna sumberdaya
pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan.
Gambar 5-1 Batas
administrasi Kabupaten Banyuwangi
Kabupaten
Banyuwangi memiliki akses jalan yang cukup baik, ini terlihat dari Gambar
5-3. Akses jalan terutama di sekitar wilayah pesisir yang memiliki
kelerengannya cenderung rendah (datar), sementara di bagian atas (daerah
dataran tinggi) dan Kecamatan Tegaldlimo akses jalan masih kurang disebabkan
tutupan lahanya sebagian besar adalah hutan. Jumlah sungai cukup banyak yang
mengalir dari bagian tengah yang lebih tinggi dan bermuara ke Selat Bali dan
Samudra Indonesia yang lebih rendah.
Gambar 5-2 Tutupan Lahan Kabupaten Banyuwangi (Hasil olahan ISDAL)
Jalan Sungai
Gambar 5-3 Vektor Jalan dan Sungai di Kabupaten Banyuwangi
5.2 Parameter Fisik Perairan
Gambar 5-4 memperlihatkan hasil kedalaman yang merupakan gabungan antara
titik kedalaman yang diturunkan dari data citra untuk daerah perairan terumbu
karang dan titik
kedalaman hasil dari digitasi peta bathimetri. Gambar 5-5 memperlihatkan
perbandingan antara hasil interpolasi kedalaman dari data bathimetri dan dari
gabungan antara bathimetri dan landsat. Perbedaan tidak terlalu terlihat ini
tetapi bila dilihat secara mendetil, terlihat bahwa kontur gabungan mempunyai
kontur yang lebih rapat di perairan dekat pantai. Selain itu penambahan
informasi kedalaman sangat berguna untuk menambahkan informasi peta bathimetri
yang sering tidak
lengkap.
Gambar 5-4
Kedalaman gabungan antara Peta bathimetri dan data citra
Bathimetri Gabungan
Gambar 5-5 Perbandingan antara Interpolasi bathimetri dan
interpolasi gabungan
Gambar
5.6 memperlihatkan sebaran SPL untuk musim barat dan musim timur di
perairan Kabupaten Banyuwangi yang diturunkan dari model algoritma menggunakan
suhu efektif berbasiskan nilai radiansi. Di bagian utara (laut Jawa) suhu
cenderung tinggi dibandingkan pada bagian selatan (samudera Indonesia). Ini
disebabkan samudera Indonesia lebih dinamis sehingga mudah terjadi pencampuran
massa air yang mengakibatkan rendahnya nilai SPL. Pada musim timur nilai SPL di
bagian selatan mempunyai suhu sangat rendah yang terlihat dengan warna biru,
ini disebabkan terjadinya upwelling (di daerah ini upwelling terjadi sepanjang
musim timur).
Musim Barat Musim
Timur
Gambar 5-6 Memperlihatkan distribusi SPL di perairan Banyuwangi
menggunakan model algoritma berbasiskan radiansi.
Gambar 5-7 Memperlihatkan Spl Musim Barat dengan basis Digital
Number
Gambar 5-8 Memperlihatkan SPL Musim Timur Menggunakan Model
Berbasis Digital Number
Gambar 5-7 dan 5-8 memperlihatkan distribusi SPL berdasarkan model berbasis digital
number. Secara umum terlihat bahwa kedua model mempunyai kecenderungan yang
sama, yaitu terlihat bahwa bagian utara bersuhu lebih tinggi daripada bagian
selatan, dan musim timur bersuhu lebih rendah dibandingkan musim barat.
Walaupun kedua model ini memiliki range nilai SPL yang tidak terlalu berbeda,
tetapi terlihat bahwa SPL dengan model berbasiskan radiansi mempunyai pola yang
lebih bervariasi dan halus.
Gambar 5-9 memperlihatkan distribusi
kecerahan menggunakan model algoritma SDT (Seichi Disk Transparency) berbasis
nilai radiansi, terlihat perbedaan yang cukup besar antara musim barat dan
musim timur. Pada musim barat kecerahan sangat tinggi mencapai lebih dari 25
meter, sedangkan pada musim timur berkisar kurang dari 12 meter. Gambar 5-10 dan 5-11 memperlihatkan distribusi
kecerahan pada musim barat dan musim timur menggunakan model algoritma berbasis
digital number. Range nilai kecerahan yang diperoleh menggunakan model ini
lebih mendekati kondisi real yaitu berkisar antara 7 sampai 12 meter. Tetapi perlu
diperhatikan bahwa kecerahan perairan pada daerah terumbu karang yang
diperkirakan tinggi, ternyata mempunyai tingkat kecerahan yang paling rendah.
Kedua model ini masih memerlukan kajian lebih lanjut dengan membandingkan
dengan data insitu atau perbaikan koreksi atmosferik. Pola kecerahan juga
direncanakan akan dimonitor mengunakan data Fengyun 1C, sehingga dapat terlihat
pola untuk jangka waktu tertentu seperti bulanan atau tahunan.
Musim Barat Musim Timur
Gambar 5-9 Memperlihatkan distribusi Kecerahan di perairan
Banyuwangi menggunakan model
algoritma berbasiskan reflektansi
Gambar 5-11 Memperlihatkan Kecerahan
Pada Musim Timur Menggunakan Model Berbasis Digital Number
Musim Barat Musim
Timur
Gambar 5-14 Memperlihatkan Kecerahan Pada Musim Timur Menggunakan
Model Berbasis Digital Number
Gambar 5-15 memperlihatkan pemetaan terumbu karang, pdang lamun dan pasir
dibawah permukaan laut menggunakan model Lyzengga berbasis nilai reflektansi.
Disebabkan identifikasi terumbu karang sangat peka akan adanya kekeruhan
(kekeruhan menghilangkan informasi adanya terumbu karang), sehingga dilakukan
pengolahan terhadap 2 data temporal Landsat 7 ETM untuk memetakan terumbu
karang
Gambar 5-15 Pemetaan Terumbu Karang Di Perairan Banyuwangi
BAB III
PENUTUP
Kajian potensi ekonomi wilayah pesisir, khususnya pengembangan
budidaya laut dan pariwisata bahari, telah berjalan selama 1 semester. Cukup
banyak hambatan yang dihadapi sekaligus telah dilakukan beberapa usaha untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Misalnya sedikitnya model algoritma untuk
mendeteksi parameter perairan yang sudah dikerjakan untuk wilayah Indonesia,
kalaupun ada umumnya menggunakan model berbasis digital number dan pengambilan data
yang lokal sehinga besar kemungkinan hanya berlaku untuk satu lokasi dan satu
saat saja. Beberapa algoritma sudah dikembangkan dengan berbasiskan nilai
radiansi atau reflektansi, tetapi masih belum diterapkan secara baik di daerah
penelitian (Banyuwangi dan Situbondo), kemungkinan disebabkan beberapa hal
seperti perbedaan jenis kandungan material (organik atau anorganik) yang
terlarut di perairan, koreksi atmosferik yang belum dilakukan dengan benar dll.
Perbaikan model kedalaman dan SPL menggunakan Landsat telah dilakukan, hasilnya
memperlihatkan persamaan yang cukup baik dengan referensi yang digunakan
(seperti: peta bathimetri atau NOAA).
Walaupun begitu permasalahan keakurasian masih menjadi masalah
disebabkan tidak adanya data lapangan untuk memverifikasi hasil tersebut.
Kegiatan Bina Usaha yang merupakan kegiatan hilir dan bersifat operasional
memang sangat menarik karena berusaha mengaplikasikan data penginderaan jauh
untuk dimanfaatkan bagi masyarakat luas, tetapi tidak adanya model yang siap
dipakai merupakan hambatan yang terbesar. Untuk itu sangat diperlukan adanya
bidang penelitian khusus untuk melakukan pembuatan model sehingga hasil yang
dikeluarkan Bina Usaha dapat lebih dipercaya.
Kegiatan ini sudah terselesaikan kira-kira 46 %, dimana kegiatan
utama pada semester 1 ini adalah perbaikan metoda dan menurunkan
parameter-parameter fisik perairan, fisik daratan, monitoring dan pembuatan DEM
dengan menggunakan data-data penginderaan jauh. Rencana selanjutnya adalah
menyelesaikan beberapa parameter yang belum dikerjakan, melakukan pembobotan
dan analisa. Selain itu akan dicoba untuk menggunakan data satelit beresolusi
temporal tinggi seperti Fengyun 1C untuk monitoring kekeruhan, dan menggunakan
data resolusi spasial tinggi seperti SPOT untuk membantu mengamati lokasi
secara visual sekaligus sebagai alat verifikasi dari hasil pembobotan dan
analisa.